Efisiensi Peternakan Kambing
Mempercepat Tercapainya Pubertas Kambing
Umur, berat badan dan kondisi tubuh berpengaruh terhadap tercapainya pubertas pada kambing. Kambing yang tumbuh lebih cepat akan mencapai pubertas lebih awal. Pada kambing pubertas dicapai pada umur bervariasi 6 – 12 bulan atau pada berat sekitar 55-60% berat badan dewasa (Sutama et al., 1995). Umur pubertas erat kaitannya dengan kondisi pakan yang dikonsumsi. Ternak yang diberi pakan tambahan konsentrat urea molases blok (UMB) mencapai pubertas 20 hari lebih cepat (Wodzicka-Tomaszewska dan Mastika, 1993). Pemberian hormon pregnant mare serum gonadotropin (PMSG) pada umur sekitar 7 bulan dapat menstimuli terjadinya siklus birahi dan ovulasi (Sutama et al., 1988c; Artiningsih et al., 1996).
Manfaat yang lebih besar dari mempercepat tercapainya pubertas terjadi di daerah sub-tropis dimana aktivitas seksual kambing dan domba dipengaruhi oleh musim. Di daerah tersebut, kelahiran pada ternak kambing dan domba umumnya terjadi di musim semi dan pubertas dicapai pada musim gugur, saat mana ternak telah berumur sekitar 6-8 bulan. Bila pubertas tidak tercapai pada umur tersebut, maka perkawinan pertama baru terjadi pada musim gugur tahun berikutnya (Yates et al., 1975). Hal ini tidak terjadi pada ternak di daerah tropis. Walaupun demikian, evaluasi terhadap pencapaian umur pubertas perlu dilakukan. Umur pubertas dapat dipakai sebagai salah satu parameter dalam memilih ternak yang lebih produktif. Ternak yang mencapai pubertas lebih awal, setelah dewasa akan mempunyai produktivitas yang lebih tinggi (Levine et al., 1998; Ponzoni et al., 1979; Sutama, 1992a).
Peningkatan Jumlah Anak Sekelahiran dan Berat Sapih
Jumlah anak sekelahiran (JAS) umumnya mempunyai hubungan negatif dengan berat lahir dan berat sapih. Peningkatan JAS diikuti dengan penurunan berat lahir dan berat sapih. Hal ini berkaitan dengan kapasitas uterus dalam menampung fetus dan konsumsi susu anak pra-sapih. Demikian pula JAS yang lebih tinggi biasanya akan diikuti dengan peningkatan mortalitas (Wodzicka-Tomaszewska et al., 1991; Sutama et al., 1993).
Kambing PE memiliki tingkat kesuburan yang tinggi ditunjukkan dengan JAS 1,3 – 1,7 dan rataan 1,5 (Subandriyo et al., 1986; Adriani et al., 2003; Sutama et al., 2007c). Namun masih ada sekitar 41,7% induk yang beranak tunggal (Sutama et al., 2007c). Upaya peningkatan JAS dilakukan dengan peningkatan jumlah sel telur yang diovulasikan (superovulasi), dengan harapan akan ada lebih banyak sel telur yang dibuahi dan tumbuh berkembang menjadi anak. Pregnant Mare Serum Gonadotrophin (PMSG) merupakan hormon yang paling sering dipakai dalam program superovulasi pada kambing (Artiningsih et al., 1996; Sutama et al., 2002a; Adriani et al., 2003) maupun domba (McIntosh et al., 1975; Sutama, 1988; Sutama et al., 1988a). Penyuntikan PMSG dengan dosis 500 - 700 iu/ekor meningkatkan jumlah ovulasi sebesar 80-160% dan anak yang lahir sebesar 31-72% (Artiningsih et al., 1996; Adriani et al., 2003).
Teknologi superovulasi juga dapat meningkatkan produksi susu sebesar 32%, jumlah anak disapih dan berat sapih 37-53% (Adriani et al., 2003; 2004). Hal ini terkait dengan lebih tingginya kadar hormon progesteron maupun estrogen. Kedua jenis hormon tersebut merangsang pertumbuhan kelenjar ambing (Manalu dan Sumaryadi, 1995; Sutama et al., 2002a). Di samping secara hormonal, peningkatan JAS dapat dilakukan dengan meningkatkan konsumsi gizi sekitar waktu kawin (flushing). Cara ini relatif mudah dan dapat dilakukan di tingkat lapang oleh petani. Namun peningkatan JAS yang terjadi tidak setinggi cara hormonal, yaitu 22% (Adiati et al., 1999).
Peningkatan laju ovulasi akibat superovulasi ataupun flushing diikuti dengan lebih tingginya sel telur yang tidak berkembang menjadi anak (ova-wastage) yaitu sebesar 28,2 - 40,1%. Ini terjadi karena sel telur tidak dibuahi atau karena kematian embrio (Sutama et al., 1988b; Sutama, 1989a, 1989b; Wodzicka-Tomaszewska et al., 1991; Artiningsih et al., 1996; Adriani et al., 2003). Walaupun demikian superovulasi dapat meningkatkan produktivitas induk sebesar 109,6% dari total anak yang disapih (Adriani et al., 2003).
Memperpendek Selang Beranak
Selang beranak adalah jarak waktu antara beranak dengan beranak berikutnya. Oleh karena itu, selang beranak ditentukan oleh lama kebuntingan dan interval birahi setelah beranak. Variasi lama kebuntingan pada kambing relatif kecil yaitu 144 – 156 hari (Sutama, 1996; Artiningsih et al., 1996; Adiati et al., 1999; Budiarsana dan Sutama, 2001, Kostaman dan Sutama, 2006). Tiga sampai 5 bulan setelah beranak, ternak umumnya akan birahi kembali sehingga selang beranak antara 8 – 10 bulan. Di tingkat lapangan selang beranak dapat mencapai lebih dari 12 bulan. Hal ini sering disebabkan oleh karena tidak terdeteksinya birahi dan petani tidak memiliki pejantan. Padahal, penentuan birahi pada kambing lebih sulit tanpa adanya pejantan (Sutama et al., 1993).
Di samping itu, ternak kadang-kadang tidak menunjukkan tanda birahi dengan jelas, walaupun secara fisiologis dalam keadaan birahi (Silent heat) (Edey, et al., 1978; Sutama et al., 1988a; 1988b; 1988c). Hal ini disebabkan karena tidak adanya hormon progesteron yang cukup tinggi untuk menstimulir meningkatnya sekresi hormon estrogen yang diperlukan untuk terjadinya ekspresi birahi (Foster dan Ryan, 1981; Sutama et al., 1988c).
Masalah tersebut dapat diatasi melalui perbaikan manajemen perkawinan yaitu dengan menempatkan pejantan pada kelompok betina (perkawinan secara alami) selama 2 siklus birahi (40 hari). Sedangkan pada perkawinan alami secara dituntun (hand mating) atau secara inseminasi buatan (IB), perkawinan/inseminasi dilakukan pada setengah bagian akhir masa birahi dan diulang 10-12 jam kemudian.
Meningkatkan Efisiensi Perkawinan
Perkawinan Alami
Cara mudah untuk mendapatkan angka kebuntingan yang tinggi adalah dengan sistem kawin alam. Rasio antara jantan dan betina dalam perkawinan alami ini dapat 1:10 – 1:50 ekor, bahkan dengan manajemen perkawinan yang baik, jumlah betina dapat ditingkatkan. Di daerah tropis, siklus birahi pada kambing dapat terjadi sepanjang tahun, sesuai dengan rithme reproduksinya asalkan kondisi tubuh ternak mendukung terjadinya proses reproduksi (Wodzicka-Tomaszewska et al., 1991; Sutama et al., 1993; Sutama, 2009). Namun kelahiran setiap saat sepanjang tahun justru akan mengakibatkan tingginya alokasi waktu petani untuk mengurus induk dan anak kambing yang baru lahir. Untuk mengatasi hal ini, telah dilakukan sinkronisasi birahi dan ovulasi secara hormonal menggunakan PGF2α (prostaglandin analog) atau progesteron sinthetis, dan diperoleh persentase birahi secara serempak mencapai 80 - 100% (Artiningsih et al., 1996; Adiati et al.; 1998; Sutama et al., 2002a; Semiadi et al., 2003).
Dampak dari banyaknya kambing yang birahi dan kawin secara serempak maka manajemen pemeliharaan akan lebih mudah dilakukan dan lebih efisien. Di samping itu jumlah anak yang lahir dalam satuan waktu meningkat dan pada akhirnya pendapatan petani meningkat.
Di samping sinkronisasi secara hormonal, sikronisasi secara biologis dengan menggunakan pejantan (efek pejantan) lebih murah dan mudah dilaksanakan (Oldham, 1980; Knight, 1983; Adiati et al., 1998). Pheromon yang dikeluarkan pejantan menyebabkan peningkatan sekresi luteinizing hormone (LH) pada betina dalam waktu sekitar 2 jam. Sekresi LH tersebut kemudian diikuti dengan peningkatan sekresi hormon estrogen yang menyebabkan terjadinya birahi, dan lonjakan sekresi LH berikutnya menyebabkan ovulasi (Chesworth dan Tait, 1974).
Untuk memperoleh hasil sinkronisasi yang lebih tinggi, ternak betina diisolasi dari ternak jantan selama 3 - 4 minggu, baik secara fisik, pengelihatan, suara dan bau. Kemudian secara tiba-tiba ternak betina diintroduksi pada pejantan atau sebaliknya. Dalam waktu 2-8 hari, ternak betina akan menunjukkan tanda-tanda birahi dan perkawinan terjadi secara normal. Namun tingkat kebuntingan yang diperoleh relatif rendah (30%) (Adiati et al., 1998). Bagi ternak yang tidak bunting, siklus birahi berikutnya (20 hari kemudian) akan terjadi secara normal.
Inseminasi Buatan
Pemanfaatan teknologi inseminasi buatan (IB) mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam meningkatkan produktivitas ternak dan efisiensi usaha, terutama dalam memanfaatkan pejantan unggul, dan menurunkan biaya pemeliharaan pejantan.
Teknologi IB berhubungan erat dengan teknik pengenceran semen, penyimpanan, pendeteksian waktu birahi dan teknis inseminasi. Beberapa jenis pengencer yang telah dikembangkan untuk mengawetkan semen sapi, kerbau, domba dan kambing adalah laktose (Jellinek et al., 1980), susu skim (Herdis et al., 2002) dan tris-sitrat (Tambing et al., 2000; 2001; 2003a, 2003b; Sutama, 2002; Kostaman dan Sutama, 2006).
Berbeda halnya pada sapi, IB pada kambing belum banyak dilakukan. Kesulitan dalam melakukan deposisi semen intra-uterine merupakan salah satu kendala IB pada kambing. Servik kambing yang berkelok-kelok (berbentuk spiral) menyulitkan alat inseminasi (insemination gun) dapat masuk sampai ke uterus. Umumnya deposisi semen hanya dapat dilakukan diluar servik atau dalam vagina sehingga tingkat kebuntingan yang diperoleh masih rendah yaitu sekitar 30% (Budiarsana dan Sutama, 2001; Sutama et al., 2002b; Ngangi, 2002).
Untuk meningkatkan keberhasilan IB, beberapa inovasi teknologi telah diterapkan di antaranya dengan melakukan IB pada waktu yang tepat (35-40 jam setelah onset birahi) dan inseminasi dilakukan 2 kali dalam selang waktu 12 jam. Melalui teknik ini tingkat kebuntingan yang diperoleh meningkat dari sekitar 30% menjadi 41-56% (Budiarsana dan Sutama, 2001; Sutama et al., 2002b). Tingkat keberhasilan IB yang lebih tinggi (70%-80%) diperoleh dengan melakukan IB di dalam uterus (Susilawati dan Afroni, 2008), dengan menggunakan alat IB yang memungkinkan gun IB melewati servik.
Meningkatkan Kemampuan Hidup Anak
Kematian kambing anak, khususnya pada masa pra-sapih dapat mencapai 10 – 50% (Sutama et al., 1993; 2008; Adriani et al., 2003). Rendahnya bobot lahir anak dan produksi susu induk serta sifat keindukan yang kurang baik merupakan penyebab utama kematian anak pra-sapih (Wodzicka-Tomaszewska, et al., 1991). Umur 0-3 hari merupakan masa kritis bagi anak, dan konsumsi kolostrum pada masa ini sangat penting untuk memperoleh antibodi (Esfandiari et al., 2008). Untuk mengatasi masalah tersebut di atas dapat dilakukan dengan perlakuan superovulasi dan perbaikan kondisi pakan induk, maupun anaknya dengan penerapan teknologi susu pengganti (milk replacer) dan/atau creep feeding.
Susu sapi segar adalah paling umum dan cukup aman dipakai sebagai bahan dasar susu pengganti untuk kambing anak. Sedangkan pakan creep feeding dibuat dari campuran beberapa bahan pakan (dedak padi, pollard, bungkil kedele, dan mineral) dengan kandungan protein kasar sekitar 24% dan total digestible nutrient (TDN) 70%. Melalui cara ini tingkat kematian anak pra-sapih dapat diturunkan dari 13-18% menjadi 0-4%. Akibatnya jumlah anak yang disapih dan dijual meningkat 15-17% (Martawidjaja et al., 1999; Adriani et al., 2003; Sutama et al., 2008).
Sumber:
Orasi Ilmiah Pengukuhan Profesor Riset : Prof. Dr. Ir. I-Ketut Sutama
Tulisan asli lihat di sini.